Sabtu, 28 Agustus 2010

Hadits Maudhu

BAB I
PENDAHULUAN


Hadits merupakan sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Keberadaan hadits merupakan bentuk nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an. Hal ini karena tugas Nabi Muhammad SAW adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni Al-Qur’an. Sedangkan hadits pada hakekatnya adalah penjelasan dan praktek dari ajaran Al-Qur’an itu sendiri.
Walaupn hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua, namun hadits tidak seperti Al-Qur’an yang secara resmi telah ditulis pasa zaman Nabi dan dibukukan pada zaman khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq. Hadits baru ditulis dan dibukukan pada masa khalifah Umar bin Abdul Azis (abad ke-2)
Kesenjangan waktu antara sepeninggalan Rasulullah dengan waktu pembukuan hadits (hampir 1 abad). Merupakan kesempatan yang baik bagi orang-orang atau kelompok tertentu untuk memulai aksinya membuat dan mengatakan sesuatu yang kemudian dinisbahkan kepada Rasulullah dengan alasan yang dibuat-buat penisbatan sesuatu kepada Rasulullah SAW seperti inilah yang kemudian dikenal sebagai hadist palsu atau Hadits Maudhu’.
Hadits Maudhu’ sebenarnya tidak banyak disebut sebagai sebuah hadits, karena ia sudah jelas bukan sebuah hadits yang bisa disandarkan pada Nabi SAW. Lain halnya degan Hadits dha’if yang diperkirakan masih ada kemungkinan disandarkan pada Nabi SAW. Hadits Maudhu’ ini berbeda dengan Hadits Dha’if. Hadits Maudhu’ sudah ada kejelasan akan kepalsuannya sementara hadits dha’if belum jelas hanya samar-samar. Sehigga karena kesamarannya, hadits tersebut disebut dengan Dha’if.
Bagi Hadits Maudhu’ dan Dha’if ini, sebagaimana hadits shahih telah banyak tersebar dan beredar dalam masyarakat. Disinilah kemudian Hadits Maudhu’ perlu dimasukan kedalam kajian ilmu hadits, meskipun sebenarnya bukan sebuah hadits.

BAB II
PEMBAHASAN


A.Pengertian Hadits Maudhu’’
Secara etimologi, kata Maudhu’’ adalah isim ma’ful dari kata wa-dha-‘a, ya-dha-‘u, wadh-‘an, yang mempunyai arti al-isqath (meletakan atau menyimpan); al-iftira’ wa al-ikhtilaq (mengada ada atau membuat-buat), dan al-tarku (ditinggal).
Sedangkan secara terminologis, Ibnu Al-Shalah, yang kemudian diikuti oleh iman Al-Nawawi mendefisinikan Hadist Maudhu’ sebegai “hadits yang diciptakan dan dibuat-buat”.
Sedangkan, Muhammad Al-Jajja Al-Khatib mendefinisikan Hadist Maudhu’ dengan: “hadits yang dinisbahkan (disandarkan) kepada Rasulullah SAW, yang sifatnya dibuat-buat dan diada-adakan, karena Rasulullah SAW sendiri tidak mengatakannya, memperbuat, maupun menetapkannya. “
Sementara itu, Mahmud Al-Tahan, mendefinisikan sebagai: “kebohongan yang diciptakan dan diperbuat serta disandarkan kepada Rasulullah SAW. “
Definisi yang hampir sama dikemukakan oleh Subhi Al-Shalih, yang menyatakan bahwa Hadist Maudhu’’adalah “suatu berita yang diciptakan oleh para pembohong dan kemudian disandarkan kepada Rasulullah SAW, yang sifatnya mengada-adakan atas nama Beliau.”
Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan Hadist Maudhu’ adalah hadist yang sengaja diciptakan dan dibuat-buat oleh seseorang, kemudian mengatasnamakannya dari Rasulullah SAW.

B.Sejarah dan Perkembangan Hadits Maudhu’’
Dikalangan para ulama terjadi kontraversi tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan hadits, apakah hal telah terjadi sejak masa Nabi Muhammad SAW masih hidup, atau sesudah masa beliau. Menanggapi masalah ini sedikitnya ada tiga pendapat yang berkembang, diantaranya:
Pertama, menurut sebagian para ulama bahwa sebagian ulam pemalsuan hadits telah terjadi sejak masa Rasulullah masih hidup. Ulama yang berpendapat demikian diantaranya Ahmad Amin (w. 1373H/1954 M). alasan yang dijadikan argumentasi adalah sabda Rasulullah:


Artinya: “Bagi siapa yang secara sengaja berdusta kepadaku, maka hendaknya dia mengambil tempat di Neraka.”
Menurut Ahmad Amin, hadits ini memberi gambaran pemalsuan hadits telah terjadi padan zaman Nabi Muhammad SAW, sayangnya dalam hal ini tidak diberikan bukti-bukti secara konkrit tentang hadits yang dipalsukan pada masa Nabi Muhammad SAW itu, oleh karenanya, sekalipun hadits yang dijadikan sebagai hujjah adalah hadits Mutawattir, namun hal itu tidaklah kuat untuk dijadikan dalil bahwa zaman Nabi Muhammad SAW telah terjadi pemalsuan hadits.
Kedua, bahwa pemalsuan yang sifatnya semata-mata melakukan kebohongan terhadap Nabi Muhammad SAW, yang berhubunhan dengan masalah keduniawian telah terjadi pada zaman Nabi. Hal ini sebagaiman dilakukan oleh orang-orang munafik. Sedangkan pemalsuan hadits yang berhubungan dengan masalah agama, belum pernah terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW. Pendapat ini diantaranya dikemukakan oleh Shala Al- Din Al-Adhabi. Alasan yang dia kemukakan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Thahawi (w. 321/933 M) dan al-Thabrani (w. 360 H/ 971 M). dalam kedua hadits tersebut dinyatakan bahwa pada masa Nabi Muhammad SAW ada seorang yang telah membuat berita bohong dengan mengatas namakan Nabi. Dalam hadits ini, baik yang diriwayatkan oleh Thahawi atau Al-Thabrani ternyata sanadnya lemah (dah’if). Oleh karena itu, kedua riwayat tersebut tidak dapat dijadikan dalil.
Ketiga, bahwa penulisan hadits baru baru terjadi untuk pertama kalinya setelah 40 H, yaitu pada masa Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib. Pada masa ini terjadi konflik antara kelompok Ali disautu pihak dan Muawiyah dan pendukungnya dipihak lain, serta kelompok ketiga, yaitu kelompok Khawarij. Masing-masing kelompok berusaha untuk mencari legitimasi dari Al-qur’an dan hdits dan ketika mereka tidak mendapatkannya, maka merekapun mulai membuat hadits-hadits palsu. Pendapat ini dipengangi oleh mayoritas ulama hadits.
Dari ketiga pendapat di atas, nampaknya yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat yang disebutkan terakhir, yaitu pemalsuan hadits baru muncul sepeninggal Nabi Muhammad SAW. Hal ini disamping begitu kerasnya peringatan yang diberikan Nabi Muhammad SAW terhadap mereka yang mencoba-coba untuk melakukan dusta atas nama beliau yang tercermin pada sikap hati-hati yang ditampilkan pada sahabat, seperti Abu Bakar dan Umar serta yang lainnya juga berdasarkan bukti bahwa pemalsuan hadits baru muncul dan berkembang ketika Ali menjabat sebagai khalifah, dimana masa ini pertentangan politik mulai muncul.

C.Latar Belakang
Berdasarkan sejarah yang ada, pemalsuan hadits tidak saja dilakukan oleh orang-orang Islam, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non Islam. Menurut Ajjaj al-Khatib orang Islam yang mula-mula dan paling banyak memalsukan hadits adalah kelompok Syi’ah dan yang paling banyak diantara mereka adalah dari kelompok Syi’ah Rafidha. Sementara kelompok Khawarij, meskipun ada frekuensinya sangat sedikit sekali. Hal ini disebabkan karena menurut keyakinan mereka bahwa melakukan dosa besar adalah kafir, pemalsuan hadits seperti ini dipengaruhi oleh faktor-faktor, diantaranya adalah:
1.Adanya persoalan politik dalam soal khalifah
2.Adanya rasa benci terhadap Islam, baik Islam sebagai agama maupun sebagai suatu kedaulatan/ pemerintahan oleh kaum zindiq.
3.Sikap fanatik buta terhadap bangsa, suku, negeri, bahasa dan pimpinan (Ashbiyah).
4.Untuk menarik perhatian orang (minat para pendengar) dengan kisah-kisah pengajaran dan hikayat yang menarik.
5.Perselisihan paham dalam masalah fiqih dan masalah kalam.
6.Pendapat yang membolehkan orang yang membuat hadits untuk kebaikan.
7.Mendekatkan diri kepada pembesar-pembesar negeri dengan tujuan mencari kedudukan.
8.Adanya kesengajaan dari pihak lain untuk merusak ajaran Islam. Misalnya dari kaum Orientalis Barat yang sengaja mempelajari Islam untuk tujuan menghancurkan Islam.
9.Untuk mencari penghidupan dunia.

Golongan-Golongan yang Memalsukan Hadits
Dengan memperhatikan uraian di atas nyatalah bahwa golongan-golongan yang memebuat Hadits Maudhu’ itu ada sembilan golongan:
1.Zanadiqah (orang-orang Zindiq)
2.Penganut-penganut bid’ah
3.Orang-orang yang dipengaruhi oleh panatik kepartaian
4.Orang-orang yang ta’ashshub kepada kebangsaan, kesukuan, kenegerian, kebahasaan, dan pimpinan.
5.Orang-orang yang dipengaruhi ta’ashshubmazhab.
6.Para qushshah (ahli riwayat dongeng)
7.Para ahli tasawuf zuhud yang keliru
8.Orang-orang yang mencari penghargaan pembesar negeri.
9.Orang-orang yang ingin memegahkan dirinya dengan dapat meriwayatkan hadits-hadits yang tidak diperoleh orang lain.

Hukum Meriwayatkan Hadits Maudhu’’
1.Secara mutlak, ulama sepakat bahwa meriwayatkan hadits Maudhu’’ itu hukumnya haram bagi mereka yang sudah jelas mengetahui bahwa hadits itu palsu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW,

“Barang siapa yang menceritakan hadits dariku sedangkan ia mengetahui bahwa itu dusta, maka dia termasuk para pendusta.”
2.Bagi mereka yang meriwayatkan dengan tujuan memberi tahu kepada orang bahwa hadits ini adalah palsu (menerangkan kepada mereka sesudah meriwayatkan atau membacanya) maka tidak ada dosa atasnya.
3.Mereka tidak tahu sama sekali kemudian meriwayatkan atau mereka mengamalkan makna hadits tersebut karena tidak tahu, maka tidak ada dosa atasnya.

Kesalahan Sebagian Ahli Tafsir Dalam Menyebutkan Hadits Maudhu’
Sebagian ulama tafsir melakukan kesalahan dengan menyebutkan Hadits Maudhu’’dalam tafsir mereka tanpa menjelaskan kepalsuannya, khususnya riwayat tentang fadhilah Al-Qur’an surat per surat diantara mereka adalah As-Isa’Labi, Al-Wahidi, Az-Zamakhsyari, dan Al-Badhawi.

D.Kriteria Kepalsuan Hadits
Tanda-tanda kepalsuan hadits, terbagi menjadi dua yaitu, tanda-tanda yang diperoleh kepada sanad, dan tanda-tan yang diperoleh pada matan.
1.Tanda-tanda pada sanad
a.Perawi itu terkenal berdusta dan haditsnya tidak diriwayatkan oleh orang yang dapat dipercaya.
b.Pengakuan perawi itu sendiri.
c.Menurut sejarah mereka tak mungkin bertemu.
d.Keadaan perawi-perawi sendiri serta dorongan membuat hadits.
2.Tanda-tanda pada matan
a.Buruk susunannya dan lazimnya.
b.Rusak maknanya.
c.Menyalahi keterangan Al-qur’an yang terang, keterangan Sunnah Muatawattir dan kaidah-kaidah kulliyah.
d.Menyalahi hakekat sejarah yang telah dikenal dimasa Nabi SAW.
e.Sesuai hadits dengan mazhab yang dianut oleh Rawi, sedang rawi itu pula orang yang sangat fanatik kepada mazhabnya.
f.Menerangkan urusan yang seharusnya, kalau ada dinukilkan oleh orang ramai.
g.Menerangkan pahala yang sangat besar terhadap perbuatan yang kecil.

E.Penanggulangan Hadits Maudhu’
Dalam upaya menanggulangi Hadits-Hadits Maudhu’’ agar tidak berkembang dan semakin meluas, serta agar terpeliharanya hadits Nabi SAW dari yang tercampur dengan yang bukan hadits, para ulama hadits telah merumuskan langkah-langkah yang dapat mengantisipasi problem Hadits Maudhu’’ ini. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:
1.Memelihara sanad hadits.
2.Meningkatkan kesungguhan dalam meneliti hadits.
3.Menelidiki dan membasmi kebohongan yang dilakukan terhadap hadits.
4.Menerangkan keadaan para perawi.
5.Membuat kaidah-kaidah untuk menentukan Hadits Maudhu’’

BAB III
PENUTUP


Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1.Hadits Maudhu’ sebenarnya tidak layak disebut sebagai hadits, karena ia sudah jelas bukan sebuah hadits yang bisa disandarkan pada Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwasanya meriwayatkan Hadits-Hadits Maudhu’ itu hukumnya haram bagi mereka yang sudah jelas mengetahui bahwa hadits itu palsu, kecuali disertai dengan penjelasan dan kemaudhu’annya.
2.Hadits Maudhu’ baru muncul dan berkembang ketika Ali menjabat sebagai khalifah.
3.Pemalsuan hadits ternyata tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Islam, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non Islam.
4.Hadits Maudhu’ dapat diketahui melalui beberapa kriteria, baik dari tanda-tanda yang diperoleh pada sanad maupun dari tanda-tanda yang diperoleh pada matan.
5.Untuk menyelamatkan hadits Nabi Muhammad SAW ditengah-tengah gencarnya pembuatan Hadits Maudhu’, para ulama hadits telah merumuskan langkah-langkah yang dapat mengantisipasi masalah Hadits Maudhu’ ini.








DAFTAR PUSTAKA


Ichwan, Mohammad Nor, Studi Ilmu Hadits: Semarang Rasail Media Group, 2007.
.Http: // Media Islam. Fisika teknik. Org
Qaththan Manna’ Al-, PengantarStudi Ilmu Hadits. Jakarta Timur. Pustaka al- kautsar , Cet. III . 2008
Shiddieqy, TM. Hasbi Ash, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang Pustaka Rizki Putera, Cet. IV, 1953
Suparta,Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2001